Remash-smkn1batam.tk - Keluarga dalam Islam mempunyai arti yang tidak kecil. Keluarga merupakan bagian kesatuan terbawah yang melandasi tegaknya sebuah jama'ah di dalam Islam. Keluarga-keluarga yang baik dan solid akan mengokohkan suatu jama’ah, dan apabila keluarga-keluarga itu buruk dan rusak, akan bisa memperlemah kondisi jama'ah dalam Islam secara keseluruhan.
Keluarga Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan keluarga para sahabatnya yang telah beriman adalah keluarga-keluarga yang baik yang menghasilkan sebuah jama’ah yang kokoh di masanya. Mereka telah menjadi orang-orang terbaik dari ummat ini di muka bumi.
Bagi setiap individu muslim, keluarga juga menjadi faktor pendukung penting untuk menjalankan peran pengabdiannya kepada Allah. Seorang muslim yang berumah tangga, adalah seseorang yang semakin lengkap fungsinya sebagai manusia yang mengabdikan dirinya kepada Allah, karena seorang muslim yang berumah tangga adalah seorang suami yang menafkahi dan mengayomi isterinya, seorang bapak bagi anak-anaknya yang menafkahi dan mengajarkannya, dan sebagai pemimpin di dalam rumah tangganya yang mengarahkan keluarganya menjadi keluarga yang baik dalam menjalankan ajaran Rabbnya.
Begitupun bagi seorang muslimah. Seorang muslimah yang berumah tangga adalah seorang isteri yang melayani dan mendukung suaminya, mengajarkan anak-anaknya serta menjadi penanggung-jawab di rumah ketika suaminya pergi.
Suami dan isteri adalah dua manusia yang telah Allah pasangkan. Dengan adanya pasangan Allah mendatangkan ketenteraman, rasa cinta dan kasih-sayang di antara keduanya, anugerah, karunia dan rahmat dalam suatu binaan rumah tangga Islam.
Keluarga Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan keluarga para sahabatnya yang telah beriman adalah keluarga-keluarga yang baik yang menghasilkan sebuah jama’ah yang kokoh di masanya. Mereka telah menjadi orang-orang terbaik dari ummat ini di muka bumi.
Bagi setiap individu muslim, keluarga juga menjadi faktor pendukung penting untuk menjalankan peran pengabdiannya kepada Allah. Seorang muslim yang berumah tangga, adalah seseorang yang semakin lengkap fungsinya sebagai manusia yang mengabdikan dirinya kepada Allah, karena seorang muslim yang berumah tangga adalah seorang suami yang menafkahi dan mengayomi isterinya, seorang bapak bagi anak-anaknya yang menafkahi dan mengajarkannya, dan sebagai pemimpin di dalam rumah tangganya yang mengarahkan keluarganya menjadi keluarga yang baik dalam menjalankan ajaran Rabbnya.
Begitupun bagi seorang muslimah. Seorang muslimah yang berumah tangga adalah seorang isteri yang melayani dan mendukung suaminya, mengajarkan anak-anaknya serta menjadi penanggung-jawab di rumah ketika suaminya pergi.
Suami dan isteri adalah dua manusia yang telah Allah pasangkan. Dengan adanya pasangan Allah mendatangkan ketenteraman, rasa cinta dan kasih-sayang di antara keduanya, anugerah, karunia dan rahmat dalam suatu binaan rumah tangga Islam.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya, ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu, benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Ruum: 21).
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya, ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu, benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Ruum: 21).
Bagi setiap muslim, keberadaan isteri yang sholihah dan anak-anak yang baik di rumah adalah hal yang disuka dan senantiasa menjadi dambaan. Ini sebagaimana yang Allah firmankan dalam Al-Qur'an:
"Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa”. (QS. Al-Furqaan: 74).
"Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa”. (QS. Al-Furqaan: 74).
Al-Hasan Al-Bashri Rahimahullah ketika ditanyakan tentang ayat ini beliau mengatakan: “Yaitu Allah memperlihatkan hambaNya yang muslim dari isterinya, saudaranya dan anaknya dalam ketaatan kepada Allah. Tidak, demi Allah.. tiada sesuatu yang menyejukkan mata seorang muslim dibandingkan ketika ia melihat anak yang dilahirkannya dan saudara yang mengasihinya sebagai orang yang taat kepada Allah Azza wa Jalla..” (Tafsir Ibnu Katsir, juz 19 QS. Al-Furqaan: 74).
Isteri yang sholihah yang dia cintai dan anak-anak yang baik yang dia sayangi menjadi qurrota a’yun "penyejuk pandangan mata", penyenang hati dalam rumah tangga yang tak bisa tergantikan dengan bentuk kesenangan-kesenangan lain apapun yang ada di dunia.
Inilah dunia yang indah bagi seorang muslim bersama keluarganya sambil meniti ajaran Rabbnya beraktivitas di dunia, untuk menggapai kehidupan yang lebih baik lagi di akhirat yang telah dijanjikan oleh Allah bagi setiap hambaNya yang taat, yaitu Surga.
Diutusnya Rasulullah telah membawa rahmat yang besar dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Yang demikian itu merupakan dampak dari dakwah Rasul kepada manusia dengan ajaran yang haq. Ajaran Islam yang telah disampaikan oleh Rasul mendatangkan rahmat dan membahagiakan setiap pemeluknya di dunia dan dengan izin Allah di akhirat.
Kebersamaan di dalam keluarga dan terjalinnya hubungan silaturrahim
Sebuah keluarga yang harmonis, yang teratur dengan ajaran Islam yang penuh rahmat akan terus berkesinambungan hingga keluarga tersebut tumbuh berkembang. Hubungan antara suami dengan isteri serta hubungan antara anak dan kedua orang tua senantiasa terjalin dengan baik dalam hubungan kekeluargaan yang tertata rapi dalam suasana akrab.
Tidaklah dipungkiri bahwa dalam perjalanannya selalu saja ada problematika dalam rumah tangga. Akan tetapi Allah telah mengatur segala sesuatunya di dalam Islam. Konsep ishlah (perbaikan) dalam rumah tangga Islam selalu dikedepankan sebelum adanya pilihan untuk berpisah. Perceraian antara suami dengan isteri tidak mudah terjadi dalam sebuah keluarga Islam yang mempunyai akidah yang sama, karena pernikahan telah mengikat mereka dengan sebuah akad/perjanjian yang kuat, yang tidak mudah terungkai hanya dengan hal-hal yang remeh.
Allah berfirman:
"…dan mereka (isteri-isterimu) telah telah mengambil dari kamu perjanjian yang kokoh/kuat.” (QS. An-Nisaa: 21).
Hubungan antara anak dengan orang tua pun tidak mudah terputus. Anak tetap diajarkan untuk menghubungkan dengan orang tuanya meskipun jika sampai terjadi perpisahan antara kedua orang tuanya.
Hal ini karena seorang anak, siapapun dia, tidak boleh mengingkari nasabnya, tidak boleh ia mengingkari dari keturunan siapakah dirinya dan dari rahim siapakah ia dilahirkan. Bapaknya haruslah tetap yang berhak mengikuti namanya (bin Fulan atau binti Fulan). Seorang anak harus mengetahui, mengakui dan menyambung tali nasabnya.
Rasulullah bersabda:
Dari Ibnu Abbas Radhiallahu 'anhu berkata, telah bersabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam: "Kenalilah nasab kalian yang kalian dapat menyambung silaturrahim.” (HR. Abu Dawud ath-Thoyalisi di dalam kitab musnadnya dan Al-Hakim: 308, 7365. Silsilah Al-Hadits ash-Shahihah: 277 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1051).
Dan bagi seorang anak, ibunya adalah seorang perempuan yang telah melahirkannya. Seorang anak harus senantiasa ingat akan hal ini dan harus senantiasa bersyukur terhadap ibunya.
Allah berfirman:
“…Ibunya mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah (pula).” (QS. Al-Ahqaaf: 15).
Islam adalah agama yang penuh dengan kasih dan rahmat. Dalam kondisi yang kritispun tetap ada kasih dan rahmat. Sifat manusiawi yang menjadi fitrah yang baik dalam diri setiap manusia tetap terjaga dan terpelihara.
Hubungan silaturrahim antar anggota keluarga (di antara anak dengan anak) tetap berjalan meskipun terjadi keterpisahan antara bapak dengan ibu, atau antara anak dengan orang tua.
Dengan Islam, tak akan terjadi kekacauan dan kerusakan garis nasab di antara manusia. Dengan Islam, penyikapan yang adil satu-sama lain setiap anggota keluarga dapat terpelihara.
Fitnah-fitnah penghancur keluarga
Keluarga yang dibangun atas landasan Islam adalah keluarga yang kokoh. Penerapan akidah serta semangat anggota-anggota keluarga untuk menjalankan ajaran-ajaran Allah dengan baik menjadikan keluarga sebagai ‘benteng’ perlindungan pengaruh negatif dari luar yang senantiasa mengancam. Keluarga bahkan bisa menjadi tempat pengkaderan hamba-hamba Allah yang taat, jujur, cerdas dan berilmu.
Para Imam Islam terdahulu adalah pribadi-pribadi yang berasal dari keluarga-keluarga yang taat dan berdedikasi tinggi. Ulama-ulama Islam banyak lahir dari keluarga-keluarga yang shalih.
Keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah dengan isteri dan anak-anak yang menyejukkan pandangan mata, disertai dengan kesamaan visi untuk menjadi orang-orang yang bertakwa, adalah gambaran keluarga yang sempurna di dunia.
Rasulullah menyebut rumah tangganya dengan “baitii jannatii” (rumahku surgaku).
Namun sayangnya, keluarga yang seperti ini justru adalah keluarga yang sangat tidak disukai oleh syaitan. Sifat-sifat yang baik yang ada di dalam sebuah keluarga Islam senantiasa diinginkan oleh syaitan agar berubah menjadi buruk. Syaitan tidak pernah menyukai keluarga yang kokoh dan solid. Syaitan selalu berusaha agar keluarga-keluarga Islam yang baik menjadi keluarga-keluarga yang buruk, saling bermusuhan di antara para anggotanya, hingga terpecah-belahnya keluarga-keluarga itu dan tidak pernah bersatu kembali.
Berbagai upaya digulirkan syaitan. Merebaklah fitnah wanita penggoda bagi suami, fitnah laki-laki lain bagi sang isteri, fitnah syahwat cinta anak-muda dan narkoba bagi anggota keluarga yang mulai remaja, dan lain-lain.
Upaya-upaya penyesatan melalui fitnah syahwat ini digempurkan dengan begitu kuat melalui pergaulan dan berbagai media massa umum. Banyaklah kemudian keluarga yang menjadi pecah. Suami dan isteri terpisah karena fitnah syahwat, anak-anak tak terkendali, setiap orang di rumah jadi saling menyalahkan, rumah menjadi tempat menumpahkan pertengkaran dan permusuhan, suasana rumah tangga pun telah berubah menjadi ‘neraka dunia’.
Syaitan-syaitan juga berusaha menghancurkan sebuah keluarga dengan memisahkan tonggak utama di dalam keluarga itu, yaitu suami dan isteri. Mereka berusaha menimbulkan rasa benci satu sama lain atau rasa suka yang menyimpang. Mereka memanfaatkan orang-orang yang mempunyai hasud terhadap seseorang atau terhadap suatu keluarga. Hasil-hasil rekayasa syaitan dalam urusan ini telah dikenal sejak masa yang lalu, di antaranya adalah “pelet” atau “tolak-kasih” yang banyak dilakukan para dukun sesat dengan sihir yang melibatkan jin-jin.
Isteri yang sholihah yang dia cintai dan anak-anak yang baik yang dia sayangi menjadi qurrota a’yun "penyejuk pandangan mata", penyenang hati dalam rumah tangga yang tak bisa tergantikan dengan bentuk kesenangan-kesenangan lain apapun yang ada di dunia.
Inilah dunia yang indah bagi seorang muslim bersama keluarganya sambil meniti ajaran Rabbnya beraktivitas di dunia, untuk menggapai kehidupan yang lebih baik lagi di akhirat yang telah dijanjikan oleh Allah bagi setiap hambaNya yang taat, yaitu Surga.
Diutusnya Rasulullah telah membawa rahmat yang besar dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Yang demikian itu merupakan dampak dari dakwah Rasul kepada manusia dengan ajaran yang haq. Ajaran Islam yang telah disampaikan oleh Rasul mendatangkan rahmat dan membahagiakan setiap pemeluknya di dunia dan dengan izin Allah di akhirat.
Kebersamaan di dalam keluarga dan terjalinnya hubungan silaturrahim
Sebuah keluarga yang harmonis, yang teratur dengan ajaran Islam yang penuh rahmat akan terus berkesinambungan hingga keluarga tersebut tumbuh berkembang. Hubungan antara suami dengan isteri serta hubungan antara anak dan kedua orang tua senantiasa terjalin dengan baik dalam hubungan kekeluargaan yang tertata rapi dalam suasana akrab.
Tidaklah dipungkiri bahwa dalam perjalanannya selalu saja ada problematika dalam rumah tangga. Akan tetapi Allah telah mengatur segala sesuatunya di dalam Islam. Konsep ishlah (perbaikan) dalam rumah tangga Islam selalu dikedepankan sebelum adanya pilihan untuk berpisah. Perceraian antara suami dengan isteri tidak mudah terjadi dalam sebuah keluarga Islam yang mempunyai akidah yang sama, karena pernikahan telah mengikat mereka dengan sebuah akad/perjanjian yang kuat, yang tidak mudah terungkai hanya dengan hal-hal yang remeh.
Allah berfirman:
"…dan mereka (isteri-isterimu) telah telah mengambil dari kamu perjanjian yang kokoh/kuat.” (QS. An-Nisaa: 21).
Hubungan antara anak dengan orang tua pun tidak mudah terputus. Anak tetap diajarkan untuk menghubungkan dengan orang tuanya meskipun jika sampai terjadi perpisahan antara kedua orang tuanya.
Hal ini karena seorang anak, siapapun dia, tidak boleh mengingkari nasabnya, tidak boleh ia mengingkari dari keturunan siapakah dirinya dan dari rahim siapakah ia dilahirkan. Bapaknya haruslah tetap yang berhak mengikuti namanya (bin Fulan atau binti Fulan). Seorang anak harus mengetahui, mengakui dan menyambung tali nasabnya.
Rasulullah bersabda:
Dari Ibnu Abbas Radhiallahu 'anhu berkata, telah bersabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam: "Kenalilah nasab kalian yang kalian dapat menyambung silaturrahim.” (HR. Abu Dawud ath-Thoyalisi di dalam kitab musnadnya dan Al-Hakim: 308, 7365. Silsilah Al-Hadits ash-Shahihah: 277 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1051).
Dan bagi seorang anak, ibunya adalah seorang perempuan yang telah melahirkannya. Seorang anak harus senantiasa ingat akan hal ini dan harus senantiasa bersyukur terhadap ibunya.
Allah berfirman:
“…Ibunya mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah (pula).” (QS. Al-Ahqaaf: 15).
Islam adalah agama yang penuh dengan kasih dan rahmat. Dalam kondisi yang kritispun tetap ada kasih dan rahmat. Sifat manusiawi yang menjadi fitrah yang baik dalam diri setiap manusia tetap terjaga dan terpelihara.
Hubungan silaturrahim antar anggota keluarga (di antara anak dengan anak) tetap berjalan meskipun terjadi keterpisahan antara bapak dengan ibu, atau antara anak dengan orang tua.
Dengan Islam, tak akan terjadi kekacauan dan kerusakan garis nasab di antara manusia. Dengan Islam, penyikapan yang adil satu-sama lain setiap anggota keluarga dapat terpelihara.
Fitnah-fitnah penghancur keluarga
Keluarga yang dibangun atas landasan Islam adalah keluarga yang kokoh. Penerapan akidah serta semangat anggota-anggota keluarga untuk menjalankan ajaran-ajaran Allah dengan baik menjadikan keluarga sebagai ‘benteng’ perlindungan pengaruh negatif dari luar yang senantiasa mengancam. Keluarga bahkan bisa menjadi tempat pengkaderan hamba-hamba Allah yang taat, jujur, cerdas dan berilmu.
Para Imam Islam terdahulu adalah pribadi-pribadi yang berasal dari keluarga-keluarga yang taat dan berdedikasi tinggi. Ulama-ulama Islam banyak lahir dari keluarga-keluarga yang shalih.
Keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah dengan isteri dan anak-anak yang menyejukkan pandangan mata, disertai dengan kesamaan visi untuk menjadi orang-orang yang bertakwa, adalah gambaran keluarga yang sempurna di dunia.
Rasulullah menyebut rumah tangganya dengan “baitii jannatii” (rumahku surgaku).
Namun sayangnya, keluarga yang seperti ini justru adalah keluarga yang sangat tidak disukai oleh syaitan. Sifat-sifat yang baik yang ada di dalam sebuah keluarga Islam senantiasa diinginkan oleh syaitan agar berubah menjadi buruk. Syaitan tidak pernah menyukai keluarga yang kokoh dan solid. Syaitan selalu berusaha agar keluarga-keluarga Islam yang baik menjadi keluarga-keluarga yang buruk, saling bermusuhan di antara para anggotanya, hingga terpecah-belahnya keluarga-keluarga itu dan tidak pernah bersatu kembali.
Berbagai upaya digulirkan syaitan. Merebaklah fitnah wanita penggoda bagi suami, fitnah laki-laki lain bagi sang isteri, fitnah syahwat cinta anak-muda dan narkoba bagi anggota keluarga yang mulai remaja, dan lain-lain.
Upaya-upaya penyesatan melalui fitnah syahwat ini digempurkan dengan begitu kuat melalui pergaulan dan berbagai media massa umum. Banyaklah kemudian keluarga yang menjadi pecah. Suami dan isteri terpisah karena fitnah syahwat, anak-anak tak terkendali, setiap orang di rumah jadi saling menyalahkan, rumah menjadi tempat menumpahkan pertengkaran dan permusuhan, suasana rumah tangga pun telah berubah menjadi ‘neraka dunia’.
Syaitan-syaitan juga berusaha menghancurkan sebuah keluarga dengan memisahkan tonggak utama di dalam keluarga itu, yaitu suami dan isteri. Mereka berusaha menimbulkan rasa benci satu sama lain atau rasa suka yang menyimpang. Mereka memanfaatkan orang-orang yang mempunyai hasud terhadap seseorang atau terhadap suatu keluarga. Hasil-hasil rekayasa syaitan dalam urusan ini telah dikenal sejak masa yang lalu, di antaranya adalah “pelet” atau “tolak-kasih” yang banyak dilakukan para dukun sesat dengan sihir yang melibatkan jin-jin.
Allah berfirman:
“… Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu, apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami), dengan istrinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat, dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan ijin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepadanya, dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah menyakini (sebelumnya), bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka, menjual dirinya sendiri, dengan sihir, kalau mereka mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 102).
Di keluarga-keluarga yang mampu bertahan dari fitnah syahwat, syaitan menggempurnya dengan cara yang lain. Fitnah syubhat tak urung dugulirkan juga oleh mereka untuk memecah belah suatu keluarga. Mereka memanfaatkan orang-orang yang memperturutkan hawa nafsunya dalam beragama, para ahli syubhat dan para ahli bid’ah yang selalu berkeliaran mencari pengikut.
Keluarga-keluarga yang berusaha dipengaruhi dengan fitnah syubhat adalah keluarga-keluarga yang umumnya baik, yang tidak bermasalah dalam urusan syahwat menyimpang. Dalam keluarga ini diusahakan ditimbulkan isu perbedaan faham, perbedaan pandangan, hingga yang terberat adalah ditimbulkannya isu perbedaan akidah atau isu iman dan kafir. Keluarga pun terpecah akibat faham-faham syubhat yang telah merasuk kuat kepada anggota keluarga itu.
Si anggota keluarga yang telah kerasukan faham syubhat tersebut lalu memisahkan diri dari suaminya, atau dari anaknya, atau dari orang-tuanya, atau dari sanak familinya yang telah dipastikan olehnya bahwa mereka adalah orang yang berbeda akidah atau orang-orang kafir.
“… Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu, apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami), dengan istrinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat, dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan ijin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepadanya, dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah menyakini (sebelumnya), bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka, menjual dirinya sendiri, dengan sihir, kalau mereka mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 102).
Di keluarga-keluarga yang mampu bertahan dari fitnah syahwat, syaitan menggempurnya dengan cara yang lain. Fitnah syubhat tak urung dugulirkan juga oleh mereka untuk memecah belah suatu keluarga. Mereka memanfaatkan orang-orang yang memperturutkan hawa nafsunya dalam beragama, para ahli syubhat dan para ahli bid’ah yang selalu berkeliaran mencari pengikut.
Keluarga-keluarga yang berusaha dipengaruhi dengan fitnah syubhat adalah keluarga-keluarga yang umumnya baik, yang tidak bermasalah dalam urusan syahwat menyimpang. Dalam keluarga ini diusahakan ditimbulkan isu perbedaan faham, perbedaan pandangan, hingga yang terberat adalah ditimbulkannya isu perbedaan akidah atau isu iman dan kafir. Keluarga pun terpecah akibat faham-faham syubhat yang telah merasuk kuat kepada anggota keluarga itu.
Si anggota keluarga yang telah kerasukan faham syubhat tersebut lalu memisahkan diri dari suaminya, atau dari anaknya, atau dari orang-tuanya, atau dari sanak familinya yang telah dipastikan olehnya bahwa mereka adalah orang yang berbeda akidah atau orang-orang kafir.
Ketika melakukan itu ia merasa bahwa ia sedang berada di atas puncak keimanan, di jalan yang paling benar dan paling lurus yang memang harus ditempuhnya meskipun dengan pengorbanan yang besar. Maka hancurlah satu keluarga yang telah puluhan tahun terbina dengan baik.
Upaya syaitan dalam berbagai bentuk yang bertujuan memecah sebuah keluarga Islam yang utuh, sesungguhnya telah diberitakan oleh Nabi dalam satu haditsnya. Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah bersabda: “Sesungguhnya Iblis itu meletakkan singgasananya di atas air, lalu mengirimkan bala tentaranya kepada ummat manusia. Maka syaitan yang paling besar fitnahnya terhadap ummat manusia akan memperoleh kedudukan yang terdekat di sisi Iblis. Salah satu dari mereka datang, lalu mengatakan: “Aku terus menerus menggoda si Fulan, hingga ketika aku tinggalkan dia telah mengerjakan anu dan anu (yang buruk).” Iblis menjawab : “Tidak, demi Allah, kamu masih belum melakukan sesuatu.” Lalu datang lagi yang lainnya dan mengatakan : “Aku tidak beranjak darinya sebelum aku dapat memisahkan antara dia dan isterinya.” Maka Iblis (lalu) memberinya kedudukan yang tinggi dan dekat dengannya serta selalu bersamanya, seraya berkata : “Kamu benar (hebat).” (HR. Muslim dalam shahihnya, Tafsir Ibnu Katsir Juz 1 QS. Al-Baqarah: 102).
Baik dengan cara sihir ataupun dengan cara yang lain, adalah kebanggaan yang besar bagi syaitan-syaitan jika berhasil memisahkan seseorang dengan isterinya yang sebelumnya telah mengikat perjanjian kuat dengan aturan Allah Yang Maha Sempurna, di hadapanNya dan di hadapan anggota keluarga serta di hadapan orang-orang beriman yang lain. Ini adalah sebuah prestasi dan merupakan kemuliaan yang besar bagi syaitan-syaitan di sisi Iblis. Pemecah belah keluarga mempunyai tempat dekat yang khusus di sisi Iblis.
Kerusakan agama, kerusakan hubungan keluarga dan kerusakan nasab
Orang-orang yang mengikuti hawa-nafsunya tanpa ilmu dalam beragama, adalah orang-orang yang jauh dari petunjuk, meskipun mereka mengira bahwa mereka telah mengerti petunjuk.
Mereka bukan para ulama yang haq dan tidak mengerti tentang As-Sunnah dari Rasulullah, tidak mengerti ajaran para sahabat, serta ajaran para thabi’in dan orang-orang yang mengikuti mereka di kalangan para ahli ilmu (ulama).
Dengan ilmu yang sangat sedikit mereka berusaha mengerti sendiri ayat-ayat Al-Qur’an, Kitab Yang Agung, yang mana orang-orang yang shalih tidak berani melakukannya. Akhirnya mereka bukannya menjadi pengusung kebenaran (agama yang haq), tapi justru mereka menjadi perusak kebenaran itu.
Mereka mengajarkan konsep pemahaman iman dan kafir yang sangat prematur, dengan hujjah-hujjah yang tidak tergali secara optimal dan hanya banyak mengandalkan ro’yu, dugaan-dugaan. Dengan konsep pemahaman iman dan kafir yang sangat prematur ini mereka berbangga bahwa mereka telah mempunyai ‘furqan’, telah mempunyai kemampuan untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Di atas ini mereka kemudian mengajarkan untuk memutus hubungan silaturrahim dengan orang-orang satu keluarga yang berbeda faham, yang mereka simpulkan dengan ‘furqonan’ yang ada pada mereka bahwa keluarga yang berbeda faham dengan mereka adalah orang-orang kafir, orang-orang yang harus diputus hubungan dengannya secara tegas.
Rusaklah ajaran Islam dengan munculnya faham ini di kalangan manusia. Faham yang rusak inilah yang memicu perempuan-perempuan meninggalkan orang-tua dan sanak familinya yang tidak segolongan dengan mereka. Mereka kemudian menikah secara bathil pula (dengan wali yang tidak haq), menghasilkan keturunan-keturunan yang tidak jelas asal-usul nasabnya. Anak-anak yang lahir dengan pernikahan-pernikahan bathil mereka tidak pernah tahu siapakah kakeknya, siapakah neneknya, siapakah mahrom-mahrom dari kalangan keponakannya, siapakah saudara-saudara bapak dan saudara-saudara ibunya. Semua telah terisolir, semuanya telah terputus. Satu generasi telah rusak garis nasabnya.
Kerusakan ajaran agama telah menimbulkan kerusakan hubungan keluarga, dan juga telah menimbulkan kerusakan nasab yang serius. Ini sangat sulit diperbaiki. Beberapa perempuan telah meninggalkan keluarga orang-tuanya selama puluhan tahun dan telah beranak-pinak tanpa diketahui oleh orang-tua dan keluarganya. Mereka enggan pulang, apapun alasannya karena sadar akan menerima “murka” yang tiada kepalang. Mereka sudah keterlanjuran, dan harus menerima sebagai orang-orang yang sudah terlanjur buruk. Inilah nasib mereka.
Ada pula seorang perempuan yang telah meninggalkan orang-tuanya beberapa tahun dan kemudian ia mati karena sakit. Tak ada temannya yang tahu di mana orang tuanya. Barangkali di luar sana, orang tuanya masih menanti-nantikan anak perempuannya akan pulang suatu waktu. Penantian yang terus menerus sampai datang kematiannya sendiri yang membuat dia yakin, bahwa anaknya ternyata tidak akan pulang.
Untuk orang-orang yg mengkafirkan dan meninggalkan sanak keluarganya:
“Telitilah dengan seksama sekali lagi, apakah yang diyakini itu memang benar seperti itu, sudahkah mengetahui semua hujjah dengan pasti?”. “Apakah benar Islam yang Allah turunkan kepada ummat manusia itu hanyalah Allah wariskan kepada orang-orang yang menjadi guru-gurumu saja?”. “Yakinkah bahwa hanya merekalah orang-orang yang faham Qur’an di muka bumi yang luas ini? Apakah sudah membuktikannya dengan keliling bumi menelaah kebenaran?”. “Beranikah kalian bersumpah bahwa sanak keluarga yang kalian tinggalkan memang benar-benar kafir, dan apabila kalian ternyata salah, kalian bersedia dilaknat di dunia dan di akhirat.!". “Beranikah kalian bersumpah bahwa apa yang kalian tempuh adalah ajaran Allah dan Rasul-Nya yang benar, dan jika ternyata kalian salah, kalian bersedia dilaknat di dunia dan di akhirat.!". Ucapkanlah… karena sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kau ucapkan….
Upaya syaitan dalam berbagai bentuk yang bertujuan memecah sebuah keluarga Islam yang utuh, sesungguhnya telah diberitakan oleh Nabi dalam satu haditsnya. Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah bersabda: “Sesungguhnya Iblis itu meletakkan singgasananya di atas air, lalu mengirimkan bala tentaranya kepada ummat manusia. Maka syaitan yang paling besar fitnahnya terhadap ummat manusia akan memperoleh kedudukan yang terdekat di sisi Iblis. Salah satu dari mereka datang, lalu mengatakan: “Aku terus menerus menggoda si Fulan, hingga ketika aku tinggalkan dia telah mengerjakan anu dan anu (yang buruk).” Iblis menjawab : “Tidak, demi Allah, kamu masih belum melakukan sesuatu.” Lalu datang lagi yang lainnya dan mengatakan : “Aku tidak beranjak darinya sebelum aku dapat memisahkan antara dia dan isterinya.” Maka Iblis (lalu) memberinya kedudukan yang tinggi dan dekat dengannya serta selalu bersamanya, seraya berkata : “Kamu benar (hebat).” (HR. Muslim dalam shahihnya, Tafsir Ibnu Katsir Juz 1 QS. Al-Baqarah: 102).
Baik dengan cara sihir ataupun dengan cara yang lain, adalah kebanggaan yang besar bagi syaitan-syaitan jika berhasil memisahkan seseorang dengan isterinya yang sebelumnya telah mengikat perjanjian kuat dengan aturan Allah Yang Maha Sempurna, di hadapanNya dan di hadapan anggota keluarga serta di hadapan orang-orang beriman yang lain. Ini adalah sebuah prestasi dan merupakan kemuliaan yang besar bagi syaitan-syaitan di sisi Iblis. Pemecah belah keluarga mempunyai tempat dekat yang khusus di sisi Iblis.
Kerusakan agama, kerusakan hubungan keluarga dan kerusakan nasab
Orang-orang yang mengikuti hawa-nafsunya tanpa ilmu dalam beragama, adalah orang-orang yang jauh dari petunjuk, meskipun mereka mengira bahwa mereka telah mengerti petunjuk.
Mereka bukan para ulama yang haq dan tidak mengerti tentang As-Sunnah dari Rasulullah, tidak mengerti ajaran para sahabat, serta ajaran para thabi’in dan orang-orang yang mengikuti mereka di kalangan para ahli ilmu (ulama).
Dengan ilmu yang sangat sedikit mereka berusaha mengerti sendiri ayat-ayat Al-Qur’an, Kitab Yang Agung, yang mana orang-orang yang shalih tidak berani melakukannya. Akhirnya mereka bukannya menjadi pengusung kebenaran (agama yang haq), tapi justru mereka menjadi perusak kebenaran itu.
Mereka mengajarkan konsep pemahaman iman dan kafir yang sangat prematur, dengan hujjah-hujjah yang tidak tergali secara optimal dan hanya banyak mengandalkan ro’yu, dugaan-dugaan. Dengan konsep pemahaman iman dan kafir yang sangat prematur ini mereka berbangga bahwa mereka telah mempunyai ‘furqan’, telah mempunyai kemampuan untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Di atas ini mereka kemudian mengajarkan untuk memutus hubungan silaturrahim dengan orang-orang satu keluarga yang berbeda faham, yang mereka simpulkan dengan ‘furqonan’ yang ada pada mereka bahwa keluarga yang berbeda faham dengan mereka adalah orang-orang kafir, orang-orang yang harus diputus hubungan dengannya secara tegas.
Rusaklah ajaran Islam dengan munculnya faham ini di kalangan manusia. Faham yang rusak inilah yang memicu perempuan-perempuan meninggalkan orang-tua dan sanak familinya yang tidak segolongan dengan mereka. Mereka kemudian menikah secara bathil pula (dengan wali yang tidak haq), menghasilkan keturunan-keturunan yang tidak jelas asal-usul nasabnya. Anak-anak yang lahir dengan pernikahan-pernikahan bathil mereka tidak pernah tahu siapakah kakeknya, siapakah neneknya, siapakah mahrom-mahrom dari kalangan keponakannya, siapakah saudara-saudara bapak dan saudara-saudara ibunya. Semua telah terisolir, semuanya telah terputus. Satu generasi telah rusak garis nasabnya.
Kerusakan ajaran agama telah menimbulkan kerusakan hubungan keluarga, dan juga telah menimbulkan kerusakan nasab yang serius. Ini sangat sulit diperbaiki. Beberapa perempuan telah meninggalkan keluarga orang-tuanya selama puluhan tahun dan telah beranak-pinak tanpa diketahui oleh orang-tua dan keluarganya. Mereka enggan pulang, apapun alasannya karena sadar akan menerima “murka” yang tiada kepalang. Mereka sudah keterlanjuran, dan harus menerima sebagai orang-orang yang sudah terlanjur buruk. Inilah nasib mereka.
Ada pula seorang perempuan yang telah meninggalkan orang-tuanya beberapa tahun dan kemudian ia mati karena sakit. Tak ada temannya yang tahu di mana orang tuanya. Barangkali di luar sana, orang tuanya masih menanti-nantikan anak perempuannya akan pulang suatu waktu. Penantian yang terus menerus sampai datang kematiannya sendiri yang membuat dia yakin, bahwa anaknya ternyata tidak akan pulang.
Untuk orang-orang yg mengkafirkan dan meninggalkan sanak keluarganya:
“Telitilah dengan seksama sekali lagi, apakah yang diyakini itu memang benar seperti itu, sudahkah mengetahui semua hujjah dengan pasti?”. “Apakah benar Islam yang Allah turunkan kepada ummat manusia itu hanyalah Allah wariskan kepada orang-orang yang menjadi guru-gurumu saja?”. “Yakinkah bahwa hanya merekalah orang-orang yang faham Qur’an di muka bumi yang luas ini? Apakah sudah membuktikannya dengan keliling bumi menelaah kebenaran?”. “Beranikah kalian bersumpah bahwa sanak keluarga yang kalian tinggalkan memang benar-benar kafir, dan apabila kalian ternyata salah, kalian bersedia dilaknat di dunia dan di akhirat.!". “Beranikah kalian bersumpah bahwa apa yang kalian tempuh adalah ajaran Allah dan Rasul-Nya yang benar, dan jika ternyata kalian salah, kalian bersedia dilaknat di dunia dan di akhirat.!". Ucapkanlah… karena sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kau ucapkan….
Wallahu 'alam
Semoga keluarga kita selalu menjadi keluarga-keluarga yang diridhai oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Aamiin Yaa Rabbal 'Alamin.
---
Dinukil: sekteislam.wordpress.com
Semoga keluarga kita selalu menjadi keluarga-keluarga yang diridhai oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Aamiin Yaa Rabbal 'Alamin.
---
Dinukil: sekteislam.wordpress.com
Silakan tambahkan komentar sesuai dengan topik, terima kasih.
EmoticonEmoticon